Oleh: Berthold Damshauser*
Sudah saatnya saya melapor lagi
tentang sebuah diskusi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitass
Bonn. Bayangkan! Di antara mahasiswa saya ada yang tertarik pada puisi
Indonesia! Bahkan ada yang mencoba menerjemahkannya ke bahasa Jerman. Namun
upaya itu mengakibatkan mereka frustrasi.
“Pak, susah sekali memahami teks
berbagai puisi Indonesia. Kami bingung, lalu bertanya kepada orang Indonesia,
apa kiranya maksud kalimat-kalimat tertentu. Jawaban yang kami terima belum
jelas juga karena teman-teman Indonesia memberi keterangan yang sangat berbeda,
bahkan bertentangan.”
“Lho,” jawab saya, “puisi memang memungkinkan banyak tafsiran.”
“Kami tahu, Pak, tapi keterangan
yang berbeda-beda itu tidak menyangkut interpretasi puisi secara menyeluruh,
melainkan keterangan tentang maksud sebuah kalimat, katakanlah tentang
narasinya. Sepertinya, penutur asli pun kesulitan mengetahui dengan pasti
hubungan sintaktis-semantis di antara kata-kata, terutama jika terdapat enjambment atau saat penyair tidak pakai
titik dan koma.”
“Mengapa heran?” tanya saya
seraya menambahkan: “Tentang ketaksaan bahasa Indonesia sudah lama Anda tahu,
kan? Ingat dong sila legendaris dalam
Pancasila yang berbunyi ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan’. Untuk memahami kalimat demikian, diperlukan
kepandaian hermeneutika yang luar biasa. Puisi Indonesia juga begitu.”
“Tapi hal itu sangat mempersulit
kami sebagai penerjemah. Kami kan mesti punya dasar semantika yang kukuh.”
“He-he…”, kata saya bergurau,
“menerjemahkan bahasa Indonesia memang harus menjadi maestro. Kalau tidak Anda
akan mengalami penderitaan.”
“Pak, mohon serius, ya!” Sebuah
suara tajam yang saya kenal, suara mahasiswa cerdas yang sering merepotkan
saya, terdengar.“Bukankah Bapak sebagai penerjemah pun sering bingung
menghadapi teks berbagai puisi Indonesia? Bapak pernah bercerita bahwa Bapak
pernah bertanya langsung kepada seorang penyair senior Indonesia mengenai
maksud sebuah larik atau kalimat yang tidak Bapak pahami. Lalu, begitu cerita
Bapak, sang penyair melihat larik itu, lama merenung, kemudian bertanya kepada
diri sendiri: ’Apa ya yang dulu kupikirkan?’”
“Ya, Pak,” seorang mahasiswa
menimpali, “saya ingat anekdot ini. Dan saat Bapak menyampaikannya kepada
seorang penyair junior Indonesia, ia dengan keluguan yang menakjubkan mengaku
bahwa ia pun kerap tidak ingat lagi apa yang dimaksud oleh kalimat tertentu
dalam puisi-puisinya. Bukankah itu skandal, Pak?”
“Ah, itu manuasiawi saja.
Bagaimana orang sanggup ingat makna segala sesuatu yang pernah ditulisnya?
Sebagian tentu sudah tenggelam dalam samudra masa nan silam, sirna-pudar tiada
bersisa.” Wajah saya berseri, bangga oleh jawaban yang puitis itu, meski hati
tak yakin arifkah sikap ini. Namun mahasiswa toh tak menggubrisnya. Mereka
mencecar dengan pertanyaan lain.
“Pak, andai betul teks puisi
Indonesia kerap susah dipahami, bahkan oleh penciptanya sendiri, mengapa hal
itu tak pernah dipermasalahkan oleh kalangan sastra, khususnya kritikus
sastra?”
“Untuk apa mereka mesti mengurusi
pengandaian mahasiswa Jerman?” saya menukas dengan dingin.
Mereka tidak terpengaruh. Bahkan
suara yang saya kenal itu terdengar lagi. “Apa itu karena pembaca Indonesia,
termasuk para kritikus, jarang bersedia mengadakan close reading, tak mau meneliti teks puisi secara mendalam, hingga
tak menyadari jalan tidaknya logika dalam teks yang mereka baca?’
“Ini mulai kurang ajar, bisik
hati saya. Saya menjawab, “Puisi sesuatu yang mesti dipahami dengan jiwa, mesti
dirasakan bunyinya, iramanya, tentu juga kegelapannya.”
Desakan tidak berkurang, “Apakah
puisi di Indonesia barangkali sesuatu yang ditulis dengan tujuan utama
dideklamasikan, bahkan diteriakkan dengan penuh patos dalam acara-acara meriah?
Sesuatu yang suka didengarkan, bukan untuk dipahami, bukan untuk dibaca dengan
sungguh-sungguh?”
“Begini,” saya berusaha untuk
kembali memegang kendali, “kita patut menerima estetika berbeda, katakanlah
estetika ketaksaan yang terdapat pada berbagai puisi Indonesia.”
“Andai ketaksaan disengaja oleh
penyairnya, tentu kami terima, Pak! Dan satu hal kiranya perlu ditekankan
berkaitan dengan ketaksaan itu. Menulis dalam bahasa yang sifatnya taksa mesti
sangat hati-hati. Kalau tidak, akibatnya sudah bisa diduga.”
Kurang ajar, mereka mau menggurui
orang. Saya hunus senjata pamungkas, yaitu nasihat: “Hindarilah kesombongan,
janganlah tenggelam di lumbung orientalisme!”
Mereka terdiam, tapi Cuma
sebentar, lalu terkikik dan ngobrol di antara mereka dengan bisingnya. Lonceng,
sudilah berbunyi!
*) KEPALA PROGRAM STUDI BAHASA
INDONESIA UNIVERSITAS BONN, PEMIMPIN REDAKSI ORIENTIERUNGEN, DAN REDAKTUR
JURNAL SAJAK
Artikel ini diambil dari Majalah
Tempo **lupa lihat edisi ke- berapa, tahun berapa
Wah, kelas yang diasuh oleh Pak Trum memang sangat menyenangkan. Setiap kali saya membaca catatan-catatan Pak Trum selalu saja ada kejadian yang lucu cerdas di kelas itu. Saya pun heran.
BalasHapus