Oleh: Alin Tamanna Rahmani
SEMINAR ANTI KORUPSI
“MENUJU TERCIPTANYA ABDI NEGARA YANG BAIK DAN BERSIH, BEBAS DARI KORUPSI!”
Seminar Anti
Korupsi yang digelar oleh BEM STAN dan SPEAK STAN (Spesialisasi Anti Korupsi
STAN) pada hari Sabtu, 15 Desember 2012 ini merupakan bagian dari rangkaian
acara SANY: Speak Anniversary 6th bertempat di gedung G Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara dengan mengusung tema “Menuju terciptanya abdi negara
yang baik dan bersih, bebas dari korupsi!” yang menghadirkan 2 orang pembicara,
yaitu Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M, Ph.D sebagai Wakil Menteri Hukum dan
HAM RI dan Wuryono Prakosa dari KPK RI. Peserta seminar adalah mahasiswa
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, serta mahasiswa dari Forum Komunikasi
Mahasiswa Kedinasan dengan moderator Bang Zega yang merupakan dosen terfavorit
di STAN.
Kasus-kasus korupsi yang diberitakan di media massa sekarang merupakan kasus korupsi yang bisa dibilang tidak biasa, melainkan luar biasa. “Korupsi luar biasa, yang melibatkan orang-orang intelektual sebagai dalangnya inilah yang disebut sebagai corruption by design”, demikian dituturkan oleh Presiden Mahasiswa STAN dalam sambutannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen yang mempunyai tugas dan fungsi pencegahan serta penindakan terkait korupsi di lingkungan hukum dan pemerintahan menyadari bahwasanya mental anti korupsi adalah senjata kita dalam memberantas korupsi itu sendiri. Wuryono Prakosa dari KPK RI menyatakan, korupsi terjadi karena tidak adanya integritas dalam diri individu. Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, Cina misalnya, yang dapat mencapai predikat negara maju dalam waktu yang relatif singkat (jika dibandingkan dengan Inggris dan Amerika Serikat), sangat serius dalam hal memberantas korupsi karena bangsa mereka memiliki integritas untuk memerangi sikap koruptif. Apakah bangsa kita juga mampu menjadi seperti halnya Cina, yaitu menjadi negara yang maju? Jawabannya, ya! Menurut sebuah riset, yang disampaikan oleh Wuryono, bahkan Indonesia mampu melampaui kemajuan (perekonomian) negara Jerman dan Inggris di tahun 2030 mendatang. Inilah mimpi kita akan sebuah negeri yang maju: terwujudnya keadilan sosial, keberlanjutan dukungan terhadap lingkungan, partisipasi politik, produktivitas ekonomi, dan kelestarian budaya. Untuk menggapai mimpi-mimpi masa depan itu, maka terdapat 4 aspek yang perlu kita benahi pada bangsa ini yakni integritas, infrastruktur, Indeks Pembangunan Manusia, dan industri kreatif.
Pencapaian Indonesia dalam Pemberantasan Korupsi
Dalam menggapai
mimpi-mimpi besarnya, bangsa Indonesia tidak boleh bersikap pesimis. Walaupun kalangan
pers semakin marak mengangkat isu-isu korupsi yang kian dipandang negatif,
bukan berarti pemberitaan negatif di media tersebut mencerminkan keadaan negara
kita yang terpuruk dan tak bangkit, atau diam di tempat dan tak bergerak. Denny
Indrayana berujar bahwa demokrasi, yang diidentikkan dengan pers, adalah ramai
retorika tanpa ada logika yang didukung data dan fakta. Dengan menelan
mentah-mentah informasi dari media tanpa mencerna lewat logika, itulah ciri
ketidak-dewasaan berdemokrasi. Dalam sudut pandangnya, Denny Indrayana melihat
bahwa Indonesia justru mengalami perkembangan yang terus-menerus menuju ke arah
sistem pemerintahan yang lebih baik. Ia mengungkapkan adanya 5 hal tentang pencapaian
Indonesia, khususnya di bidang pemberantasan korupsi.
Pertama, sistem bernegara Indonesia yang lebih demokratis pasca ’98. Dengan demikian, Indonesia telah 14 tahun berdemokrasi dan wajar saja jika dalam masa-masa “remaja” ini demokrasi kita belum mencapai kematangan. Lalu, mengapa menuju kematangan berdemokrasi itu penting? Karena sejatinya sistem koruptif muncul akibat sistem pemerintahan yang otoriter, sehingga dengan menganut sistem demokrasi, yang meniadakan adanya kewenangan/kekuasaan mutlak serta bersifat terbuka, dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi hakikatnya lebih bebas dari korupsi. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Klitgaard (2002) bahwa rumus terjadinya korupsi adalah Corruption (C) = Monopoly (M) + Discretion (D) – Accountability (A) yang berarti korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, namun tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Dengan menganut sistem demokrasi yang terbuka dan tanpa adanya kekuasaan mutlak pemerintah, sesungguhnya menandakan bahwa negara tersebut memiliki tujuan untuk memerangi korupsi.
Pertama, sistem bernegara Indonesia yang lebih demokratis pasca ’98. Dengan demikian, Indonesia telah 14 tahun berdemokrasi dan wajar saja jika dalam masa-masa “remaja” ini demokrasi kita belum mencapai kematangan. Lalu, mengapa menuju kematangan berdemokrasi itu penting? Karena sejatinya sistem koruptif muncul akibat sistem pemerintahan yang otoriter, sehingga dengan menganut sistem demokrasi, yang meniadakan adanya kewenangan/kekuasaan mutlak serta bersifat terbuka, dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi hakikatnya lebih bebas dari korupsi. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Klitgaard (2002) bahwa rumus terjadinya korupsi adalah Corruption (C) = Monopoly (M) + Discretion (D) – Accountability (A) yang berarti korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, namun tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Dengan menganut sistem demokrasi yang terbuka dan tanpa adanya kekuasaan mutlak pemerintah, sesungguhnya menandakan bahwa negara tersebut memiliki tujuan untuk memerangi korupsi.
Pencapaian Indonesia selanjutnya dalam pemberantasan korupsi ialah, regulasi terkait anti korupsi
sudah lebih baik. Sampai saat ini telah diterbitkan UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dan lain-lain. Bahkan yang terbaru ada peraturan yang
mengatur tentang SDM (termasuk penyidik POLRI) di KPK. Ketiga, institusi anti
korupsi semakin dikembangkan lebih baik. Saat ini ada 6 lembaga yang menangani
kasus korupsi di wilayah hukum dan pemerintahan yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Pengadilan Tipikor, Mahkamah Konstitusi , Komisi Yudisial, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK).
Yang keempat, yaitu saat ini pers sudah lebih bebas. Media dapat dengan leluasa memberitakan kepada publik dan mengungkap kasus korupsi di wilayah hukum dan pemerintahan tanpa rasa takut. Tidak seperti zaman pemerintahan orde baru yang melarang dan memboikot pemberitaan yang dapat menjatuhkan pemerintah, saat ini semuanya serba terbuka dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Dan yang kelima, pencapaian Indonesia dalam pemberantasan korupsi ialah semakin tingginya partisipasi publik sebagai implikasi dari kebebasan pers.
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari adanya 5 hal pencapaian tersebut adalah, yang pertama bahwa untuk mencapai kematangan atau kedewasaan berdemokrasi diperlukan sikap kritis dan logis. Sikap kritis dan logis dapat membangun optimisme kita dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sikap optimis untuk terus-menerus bergerak menuju ke arah yang lebih baik, yang dapat diimplementasikan dengan terus meningkatkan kinerja KPK dan membuat peraturan-peraturan yang diperlukan terkait korupsi. Sebuah analogi menarik tentang “menangkap koruptor bagaikan menangkap ikan” yang diungkapkan oleh Denny Indrayana, bahwa regulasi adalah jala, KPK adalah kapalnya, sementara koruptor adalah ikan-ikannya. Semakin kuat jala, semakin cepat kapalnya, maka semakin banyak ikan yang dapat dijala. Begitu pun semakin ketat regulasi, semakin cepat KPK bekerja, maka semakin banyak pula koruptor yang dapat ditangkap. Dan dengan sikap logis kita, membangun optimisme bahwa Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia akan terus bergerak menuju angka yang lebih baik. Karena kenyataannya, Indonesia mengalami kenaikan IPK setiap tahun, walaupun hanya ‘nol koma ‘ yang masih jauh dari harapan.
Yang kedua, dalam menanggapi kebebasan pers kita mesti belajar melihat pemberitaan secara objektif. Implementasinya yakni kita tidak bisa mengandalkan suatu pemberitaan yang dipublikasikan oleh berbagai macam media. Maksudnya, bahwa kita perlu memilih satu informasi mana yang kira-kira isinya tidak berpihak pada media manapun, ini yang disebut objektif. Denny Indrayana menyebutkan ada 2 prinsip dalam kebebasan pers, yaitu keberagaman dalam memilih media, dan keberagaman dalam memilih isi.
Langkah-langkah Mengatasi Korupsi
Disampaikan
oleh Denny Indrayana, menurut Bapak Presiden Republik Indonesia ada 4 aspek /pos
korupsi yang harus diberantas, antara lain di bidang:
(1) Pengadaan Barang dan Jasa;
(2) Anggaran
(APBN/D);
(3) Perizinan;
(4) Perpajakan.
Oleh karena itu diperlukan adanya
langkah-langkah dalam mengatasi korupsi, yaitu:
(1) Pembuktian
terbalik
(2) Perampasan
asset koruptor
(3) Keterbukaan
informasi sebagai cerminan dari demokrasi
(4) Perlindungan
saksi dan korban
(5) Melakukan
investigasi modern, misalnya dengan penyadapan
(6) Regulasi,
misalnya ketentuan tentang cash payment,
dan single identity number (KTP)
Memberantas korupsi bukanlah hal yang instan dan mudah, diperlukan waktu serta tenaga yang banyak, melalui partisipasi seluruh masyarakat dan pemerintah. Namun kita harus tetap optimis dan terus bergerak. Denny Indrayana mengatakan “untuk maju ke depan kita harus membersihkan yang di belakang”. Wuryono Prakosa (KPK) mengutip kalimat berikut sebagai penutup dalam penyampaian materinya:
Satu kata terindah, “Maaf”
Dua kata terindah, “Terima kasih”
Tiga kata terindah, “Negeriku dalam kesulitan”
Empat kata terindah, “Negeriku sulit untuk berubah”
Lima kata terindah, “Negeriku butuh aku untuk berubah”
*Catatan: artikel ini telah
diunggah ke http://hukum.kompasiana.com/2012/12/15/pencapaian-indonesia-dalam-pemberantasan-korupsi-516403.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar