Oleh: Alin Tamanna Rahmani
Perilaku koruptif para birokrat
dan pejabat di lingkungan pemerintahan merupakan sasaran empuk bagi kuli tinta
untuk diolah menjadi berita yang menggugah perhatian masyarakat. Munculnya
berita di media massa tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan birokrat dan
pejabat pemerintah menimbulkan pertanyaan yang klise oleh masyarakat: apakah
yang salah dalam birokrasi?
Sejauh ini, dalam 2
periode pemerintahan Presiden SBY memang permasalahan terkait korupsi para birokrat
dan pejabat menjadi keprihatinan dan perhatian yang serius. Upaya pemerintah
dalam menegakkan hukum melalui produk Undang-undang Tipikor dan
diselenggarakannya pengadilan Tipikor, serta penanganan kasus korupsi oleh
lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus dievaluasi. Di
samping itu, masyarakat juga turut menunjukkan kepedulian yang sama terhadap
korupsi dan ikut menggagas solusi berkaitan dengan merajalelanya praktek
korupsi yang berimplikasi pada kerugian, yakni seperti yang kita rasakan
sekarang bahwa korupsi menjadikan pembangunan nasional menjadi terhambat, serta
merosotnya kualitas infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum.
Birokrasi,
Korupsi, dan Pentingnya Komitmen
Konsep birokrasi,
secara lazim merujuk pada gagasan Max Weber (1864-1920). Secara etimologis,
birokrasi berasal dari kata bureaucracy
(Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucatie (Perancis), yang berarti
meja atau kantor. Cracy (kratos) menunjukkan arti kekuasaan atau
aturan. Dalam padanan kata yang lain seringkali kata birokrasi dihubungkan
dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin
memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan merupakan proses dan sumber dari
semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.[1] Untuk
memahami konsep birokrasi dari pemikiran Weber agaknya terlampau luas dan diperlukan
kajian yang cukup mendalam. Namun dapat penulis kutip secara
ringkas, dalam perspektif Weber birokrasi adalah organisasi rasional dengan
segenap karakteristik yang melekat di dalamnya. Karakteristik yang dimaksud
antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem,
formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas.[2] Dari pendapat tersebut, birokrasi dapat diartikan sebagai
organisasi itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintahan yang memiliki
struktur terkait jabatan, tugas, wewenang, dan lainnya. Namun demikian, dengan
segenap karakteristik yang disebutkan sebelumnya, birokrasi secara sempit dapat
dipahami sebagai suatu sarana untuk dapat mencapai tujuan organisasi tersebut
(pemerintahan/negara). Untuk mencapai tujuan organisasi (negara) yang tercantum
dalam UUD 1945, maka birokrasi di sini sebagai suatu sarana yang menentukan akan
terwujudnya keinginan-keinginan rakyat untuk hidup bersama dalam kesejahteraan.
Dalam praktek pelaksanaan birokrasi inilah kemudian muncul hambatan-hambatan
administrasi dan politik, seperti timbulnya korupsi, kolusi, nepotisme,
individualisme serta hilangnya legitimasi politik.
Jika pertanyaan
selanjutnya yang muncul ialah: mungkinkah birokrasi/pemerintahan di Indonesia
bebas dari korupsi? Sangatlah mungkin birokrasi di negara kita bebas dari
korupsi, asalkan pemerintah dan rakyat saling bekerja sama dan berkomitmen
dalam menjalankan fungsi masing-masing untuk mewujudkan Good Governance. Konsep Good
Governance dinyatakan dalam UNDP (1997), bahwa pemerintahan yang baik ialah
yang memiliki akuntabilitas, transparansi, partisipasi, tertib hukum,
responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta memiliki visi
strategis.[3]
Dalam mewujudkan good governance, komponen
yang terlibat bukan hanya domain pemerintah sebagai pelaksana, melainkan juga
meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal dan masyarakat selaku civil society yang masing-masing dari
komponen ini memiliki fungsi social
control. Dalam hal fungsi social
control dibutuhkan adanya semacam partisipasi publik, yaitu setiap individu
yang terlibat dalam lingkungan internal dan eksternal birokrasi (pemerintah dan
masyarakat) diharapkan tidak bersikap permisif. Misalnya, masyarakat jangan
segan-segan untuk melapor kepada yang berwenang atas indikasi dan tindakan
penyimpangan yang mereka temui pada saat terlibat dalam kegiatan pengurusan
administrasi oleh pejabat atau birokrat. Di lingkungan internal pelaksana
birokrasi, laporkan rekan anda apabila diketahui melakukan tindakan kecurangan
pada saat bekerja di kantor maupun di luar kantor. Selain itu agar kita tidak
bersikap permisif, yakni membiarkan tumbuh suburnya perilaku koruptif ini, tiap-tiap
individu baik masyarakat maupun pemerintah sendiri dapat mencegah tumbuhnya
korupsi melalui kontribusi pemikiran logis dalam rangka membenahi tatanan
sistem administrasi yang sudah ada. Misalnya, pemerintah memberikan gagasan
pemberatan hukuman bagi koruptor dan membahasnya lebih lanjut, dan sebagai
masyarakat kita juga dapat menyampaikan gagasan baik melalui tulisan maupun
dengan aksi “turun ke jalan”. Sikap inilah yang disebut komitmen masing-masing
individu, untuk saling bekerja sama dalam rangka mewujudkan good governance, yakni pemerintahan yang
bersih dari korupsi.
Reformasi
Birokrasi
Ada salah satu gagasan
pemerintah saat ini dalam rangka membenahi sistem pemerintahan, yaitu dengan
menciptakan reformasi birokrasi. Jika secara politis birokrasi merupakan
instrumen kekuasaan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa yang dituangkan
dalam bentuk kebijakan politik formal, semestinya reformasi birokrasi diarahkan
pada upaya penciptaan situasi yang kondusif agar birokrasi netral dari pengaruh
kekuasaan yang berlebihan.[4] Jadi,
reformasi birokrasi menciptakan environment
control dari sistem/birokrasi yang telah berjalan, yaitu lingkungan dimana
orang-orang yang bekerja di dalamnya sadar akan pentingnya pengendalian
internal. Reformasi birokrasi menggerakkan orang-orang yang berada di dalam
sistem agar dapat secara sadar saling mengawasi satu sama lain untuk mencegah
adanya kecurangan dan kelalaian dalam bekerja demi tercapainya tujuan
organisasi.
Reformasi birokrasi
sebagaimana digambarkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, yaitu
sasaran lima tahun pertama (2010 s.d. 2014) difokuskan pada penguatan birokrasi
pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan
kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi. Jadi secara keseluruhan, reformasi birokrasi ini
merupakan suatu perencanaan dalam periode tertentu, yang sedang berada dalam
proses pelaksanaan secara bertahap. Itulah mengapa dikatakan bahwa untuk
mencapai reformasi birokrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan
kata lain, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih juga membutuhkan proses
dan waktu yang sangat lama.
Berkaitan dengan
reformasi birokrasi, sepanjang yang kita ketahui dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi telah dilaksanakannya UU Tipikor, adanya pengadilan
Tipikor dan lembaga independen KPK bisa kita anggap sebagai komitmen pemerintah.
Selain itu, dalam hal pembenahan sistem administrasi, Kementerian Keuangan
sebagai domain yang mengelola Keuangan Negara juga melakukan reformasi
birokrasi melalui pengendalian internal yang efektif, termasuk juga di bidang
perpajakan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan. Dalam hal kasus korupsi yang
lain, misalnya untuk menghalangi pejabat melakukan modus kecurangan berupa mark up anggaran, khususnya dalam
pengadaan barang dan jasa (PBJ), ada yang disebut Pakta Integritas sebagai
pengikat/komitmen bagi pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk tidak
melakukan korupsi.
Masih banyak pembenahan
dalam birokrasi yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah, dan
bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang individu, katakanlah presiden, atau
pemimpin, untuk dapat memberi pengaruh kepada individu-individu yang lain untuk
bersama-sama bergerak dalam satu pikiran dan tujuan yang baik. Oleh karena itu,
diharapkan reformasi birokrasi menciptakan suatu kondisi yang ‘memaksa’ pemerintah,
agar pemerintah memiliki komitmen untuk membersihkan birokrasi.
[1] Dr.
Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan
Implementasi Good Governance dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2011,
hlm 22
[2] Dr.
Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan
Implementasi Good Governance, hlm 23
[3] Ibid, hlm 26
[4] Dr.
Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan
Implementasi Good Governance, hlm 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar