Membicarakan kemiskinan dan masalah social yang kita temui di Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Secara makro dapat dipastikan perekonomian negara kita masih lekat dengan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan seperti yang didefinisikan oleh Badan Pusat Statistik adalah keadaan dimana suatu individu tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya akibat pendapatan individu tersebut yang berada dibawah garis kemiskinan. Kenapa bisa miskin? Karena individu tersebut tidak dapat berproduksi, atau produktivitasnya dalam memperoleh pendapatan sangat rendah. Lalu, kenapa tidak produktif? Karena individu tidak memiliki keahlian atau kompetensi yang sesuai denagn kriteria bidang pekerjaan yang ditawarkan oleh swasta sebagai pencipta lapangan kerja. Nah, itu artinya akar dari kemiskinan adalah kebodohan, yakni keadaan individu yang belum diajar dan dididik. Selama ini yang kita tahu solusi yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia adalah dengan melaksanakan program bantuan subsidi baik langsung dan tidak langsung, yakni melalui pajak yang diredistribusikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai, Raskin, Pupuk, BBM bersubsidi, BOS, dll. Selain itu ada pula program kredit usaha rakyat, dana bergulir dengan kemasan dan nama yang macam-macam, yang diharapkan dapat memberikan insentif bagi masyarakat miskin dan menengah ke bawah untuk dapat berwirausaha secara mandiri dengan bantuan pinjaman modal dari pemerintah. Memang betul, solusi yang dilakukan pemerintah ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Namun tidakkah pemerintah berpikir untuk memberdayakan masyarakat miskin, bukan mengurangi jumlah orang miskin secara makro? Siapapun yang pernah belajar ekonomi makro pasti tahu bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu negara diukur dari Pendapatan Domestic Bruto-nya (PDB) atau disebut dengan pendapatan nasional, yaitu nilai dari barang dan jasa yang diproduksi suatu negara tersebut. Kita tahu bahwa pendapatan nasional hanyalah ukuran yang semu, kareana nilai atau angka yang menunjukkan PDB suatu negara adalah hasil kali jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam jangka waktu tertentu dengan harganya, sementara harga tersebut mengalami inflasi setiap tahunnya. Oleh karena itu, secara riil tiidak bisa kita bicara bahwa negara kita meningkat kesejahteraannya hanya dengan melihat dari angka PDB. Bolehlah jika negara lain melihat tingkat kesejahteraan negara kita dari angka PDB yang meningkat dari tahun ke tahun, namun kita sebagai rakyat Indonesia tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi pada kenyataan.
Memberdayakan masyarakat miskin, mengutip kata-kata Prof. Amartya Sen dari Harvard University yang kira-kira begini (lupa-lupa ingat :p) jika kita ingin memberi makan orang miskin, maka berikan ia ikan. Namun jika kita ingin mengajari orang miskin mencari makan, maka berikan ia pancingan. Kata-kata sebenarnya lebih bagus daripada yang saya tulis, tapi saya ingatnya begitu -,-. Intinya, dalam pemberdayaan masyarakat miskin, pemerintah memberikan pengajaran dan bimbingan kepada mereka untuk dapat meningkatkan kualitas mereka sebagai sumber daya manusia yang bisa berproduksi secara maksimal. Program-program subsidi yang dilakukan saat ini bukan berarti tidak berhasil mencapai tujuan, walaupun kenyataannya memang banyak terjadi penyimpangan dan kendala yang tak teratasi di lapangan. Namun alangkah bijaknya jika pemerintah turut mempertimbangkan solusi-solusi lain yang bersifat efektif. Pemerintah, dalam hal ini lembaga/kementerian yang diberi tanggung jawab untuk menaungi masalah-masalah social dan kemiskinan, jangan merasa bekerja sendirian. Kewajiban social merupakan tanggung jawab bersama sehingga libatkanlah rakyat secara keseluruhan, dengan program-program yang mengajak mahasiswa dan relawan untuk turut menyukseskan tujuan ini.
Kaum Marjinal dan Etika
Berbicara kemiskinan artinya kita membahas secara makro dengan kriteria seperti yang disebutkan di atas, yaitu individu-individu yang, antara lain produktivitasnya rendah dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan. Secara sempitnya, pada kenyataan yang kita lihat dan temui, orang miskin memiliki okupasi yang bermacam-macam. Tulisan saya tidak dimaksudkan untuk memberikan pandangan yang merendahkan bagi orang miskin :). Ada yang bekerja sebagai pemulung, pengamen, peminta-minta, dll dengan berbagai macam cara yang mereka lakukan untuk memperoleh pendapatan. Kaum marginal ini, kami sama-sama manusia yang lahir dan menetap di Indonesia, namun bedanya mereka tidak memperoleh hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Kalau dalam paragraf sebelumnya saya telah berbicara tentang pemberdayaan kualitas yang dikaitkan dengan profesionalisme, sebetulnya ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu etika. Pemberdayaan kaum marginal melalui pengajaran etika, bagaimana seharusnya mereka hidup dengan bekerja yang halal, bagaimana mereka berperilaku yang baik di depan orang-orang lain dan bermasyarakat, bagaimana mereka berpedoman pada agamanya, karena mereka juga manusia yang sama seperti kita. Seperti kata dosen saya bahwa etika adalah karakter, yang melekat pada diri seseorang karena diajarkan sejak kecil. Tengoklah anak-anak kecil di terminal, di kolong-kolong jembatan, di pemukiman sepanjang rel kereta-api. Betapa trenyuh jika menemui mereka yang hidup dengan ajaran lingkungannya yang tidak mengenal etika. Ayahnya mabuk-mabukan, ibunya terjun ke dunia prostitusi, teman-temannya mengajarkan bagaimana naik-turun bus, merokok, dan lingkungan seperti itu mendidiknya untuk menjadi seperti yang ia tahu. Selama ini pemerintah hanya mengurangi angka kemiskinan untuk diperlihatkan pada dunia. Sementara di dalam, pemerintah tidak peduli pada generasi miskin yang sebetulnya bisa dihentikan. Melalui pengajaran etika, menanamkan karakter anti-meminta-minta, semoga pemerintah semakin peka.*artikel ini telah dipublikasikan di tautan http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2012/09/25/memberdayakan-kaum-marginal-melalui-etika/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar