Senin, 22 Oktober 2012

Mungkinkah Birokrasi Bebas dari Korupsi?

Oleh: Alin Tamanna Rahmani

Perilaku koruptif para birokrat dan pejabat di lingkungan pemerintahan merupakan sasaran empuk bagi kuli tinta untuk diolah menjadi berita yang menggugah perhatian masyarakat. Munculnya berita di media massa tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan birokrat dan pejabat pemerintah menimbulkan pertanyaan yang klise oleh masyarakat: apakah yang salah dalam birokrasi?

Sejauh ini, dalam 2 periode pemerintahan Presiden SBY memang permasalahan terkait korupsi para birokrat dan pejabat menjadi keprihatinan dan perhatian yang serius. Upaya pemerintah dalam menegakkan hukum melalui produk Undang-undang Tipikor dan diselenggarakannya pengadilan Tipikor, serta penanganan kasus korupsi oleh lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus dievaluasi. Di samping itu, masyarakat juga turut menunjukkan kepedulian yang sama terhadap korupsi dan ikut menggagas solusi berkaitan dengan merajalelanya praktek korupsi yang berimplikasi pada kerugian, yakni seperti yang kita rasakan sekarang bahwa korupsi menjadikan pembangunan nasional menjadi terhambat, serta merosotnya kualitas infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum.

Birokrasi, Korupsi, dan Pentingnya Komitmen

Konsep birokrasi, secara lazim merujuk pada gagasan Max Weber (1864-1920). Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Cracy (kratos) menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam padanan kata yang lain seringkali kata birokrasi dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan merupakan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.[1] Untuk memahami konsep birokrasi dari pemikiran Weber agaknya terlampau luas dan diperlukan kajian yang cukup mendalam. Namun dapat penulis kutip secara ringkas, dalam perspektif Weber birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap karakteristik yang melekat di dalamnya. Karakteristik yang dimaksud antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas.[2] Dari pendapat tersebut, birokrasi dapat diartikan sebagai organisasi itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintahan yang memiliki struktur terkait jabatan, tugas, wewenang, dan lainnya. Namun demikian, dengan segenap karakteristik yang disebutkan sebelumnya, birokrasi secara sempit dapat dipahami sebagai suatu sarana untuk dapat mencapai tujuan organisasi tersebut (pemerintahan/negara). Untuk mencapai tujuan organisasi (negara) yang tercantum dalam UUD 1945, maka birokrasi di sini sebagai suatu sarana yang menentukan akan terwujudnya keinginan-keinginan rakyat untuk hidup bersama dalam kesejahteraan. Dalam praktek pelaksanaan birokrasi inilah kemudian muncul hambatan-hambatan administrasi dan politik, seperti timbulnya korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik.

Jika pertanyaan selanjutnya yang muncul ialah: mungkinkah birokrasi/pemerintahan di Indonesia bebas dari korupsi? Sangatlah mungkin birokrasi di negara kita bebas dari korupsi, asalkan pemerintah dan rakyat saling bekerja sama dan berkomitmen dalam menjalankan fungsi masing-masing untuk mewujudkan Good Governance. Konsep Good Governance dinyatakan dalam UNDP (1997), bahwa pemerintahan yang baik ialah yang memiliki akuntabilitas, transparansi, partisipasi, tertib hukum, responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta memiliki visi strategis.[3] Dalam mewujudkan good governance, komponen yang terlibat bukan hanya domain pemerintah sebagai pelaksana, melainkan juga meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal dan masyarakat selaku civil society yang masing-masing dari komponen ini memiliki fungsi social control. Dalam hal fungsi social control dibutuhkan adanya semacam partisipasi publik, yaitu setiap individu yang terlibat dalam lingkungan internal dan eksternal birokrasi (pemerintah dan masyarakat) diharapkan tidak bersikap permisif. Misalnya, masyarakat jangan segan-segan untuk melapor kepada yang berwenang atas indikasi dan tindakan penyimpangan yang mereka temui pada saat terlibat dalam kegiatan pengurusan administrasi oleh pejabat atau birokrat. Di lingkungan internal pelaksana birokrasi, laporkan rekan anda apabila diketahui melakukan tindakan kecurangan pada saat bekerja di kantor maupun di luar kantor. Selain itu agar kita tidak bersikap permisif, yakni membiarkan tumbuh suburnya perilaku koruptif ini, tiap-tiap individu baik masyarakat maupun pemerintah sendiri dapat mencegah tumbuhnya korupsi melalui kontribusi pemikiran logis dalam rangka membenahi tatanan sistem administrasi yang sudah ada. Misalnya, pemerintah memberikan gagasan pemberatan hukuman bagi koruptor dan membahasnya lebih lanjut, dan sebagai masyarakat kita juga dapat menyampaikan gagasan baik melalui tulisan maupun dengan aksi “turun ke jalan”. Sikap inilah yang disebut komitmen masing-masing individu, untuk saling bekerja sama dalam rangka mewujudkan good governance, yakni pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Reformasi Birokrasi

Ada salah satu gagasan pemerintah saat ini dalam rangka membenahi sistem pemerintahan, yaitu dengan menciptakan reformasi birokrasi. Jika secara politis birokrasi merupakan instrumen kekuasaan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa yang dituangkan dalam bentuk kebijakan politik formal, semestinya reformasi birokrasi diarahkan pada upaya penciptaan situasi yang kondusif agar birokrasi netral dari pengaruh kekuasaan yang berlebihan.[4] Jadi, reformasi birokrasi menciptakan environment control dari sistem/birokrasi yang telah berjalan, yaitu lingkungan dimana orang-orang yang bekerja di dalamnya sadar akan pentingnya pengendalian internal. Reformasi birokrasi menggerakkan orang-orang yang berada di dalam sistem agar dapat secara sadar saling mengawasi satu sama lain untuk mencegah adanya kecurangan dan kelalaian dalam bekerja demi tercapainya tujuan organisasi.

Reformasi birokrasi sebagaimana digambarkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, yaitu sasaran lima tahun pertama (2010 s.d. 2014) difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Jadi secara keseluruhan, reformasi birokrasi ini merupakan suatu perencanaan dalam periode tertentu, yang sedang berada dalam proses pelaksanaan secara bertahap. Itulah mengapa dikatakan bahwa untuk mencapai reformasi birokrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan kata lain, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih juga membutuhkan proses dan waktu yang sangat lama.

Berkaitan dengan reformasi birokrasi, sepanjang yang kita ketahui dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilaksanakannya UU Tipikor, adanya pengadilan Tipikor dan lembaga independen KPK bisa kita anggap sebagai komitmen pemerintah. Selain itu, dalam hal pembenahan sistem administrasi, Kementerian Keuangan sebagai domain yang mengelola Keuangan Negara juga melakukan reformasi birokrasi melalui pengendalian internal yang efektif, termasuk juga di bidang perpajakan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan. Dalam hal kasus korupsi yang lain, misalnya untuk menghalangi pejabat melakukan modus kecurangan berupa mark up anggaran, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ), ada yang disebut Pakta Integritas sebagai pengikat/komitmen bagi pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk tidak melakukan korupsi.

Masih banyak pembenahan dalam birokrasi yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah, dan bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang individu, katakanlah presiden, atau pemimpin, untuk dapat memberi pengaruh kepada individu-individu yang lain untuk bersama-sama bergerak dalam satu pikiran dan tujuan yang baik. Oleh karena itu, diharapkan reformasi birokrasi menciptakan suatu kondisi yang ‘memaksa’ pemerintah, agar pemerintah memiliki komitmen untuk membersihkan birokrasi.


[1] Dr. Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2011, hlm 22
[2] Dr. Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance, hlm 23
[3] Ibid, hlm 26
[4] Dr. Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance, hlm 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar