Senin, 21 Januari 2013

Twitter Matter

Gue baru tau, sebuah akun di twitter yang followers-nya sampai berapa ratus k itu ternyata beneran akun provokator ya, which means mereka dibayar buat ngetwit fitnah2 tentang politik gitu (read: @TrioMacan2000). Gue sih memang kurang suka jenis-jenis twit yg begituan, maksudnya isi omongannya itu banyak negatifnya, ga enak dicerna di mata, hati dan pikiran, makanya gue nggak follow. Pernah sekali follow akunnya seorang wartawan, yang kerennya dibilang citizen journalist, yang semacam aktivis pembela rakyat, terus dia bicara politik dan keburukan di pemerintahan Indonesia yang menurut gue terlalu menyudutkan salah satu pihak. Dan dia berkoar-koar tanpa henti di timeline gue. Akhirnya gue unfollow.

Hikmah yang bisa diambil dari dunia per-twitter-an adalah ketika semua orang bisa berbicara dan mempengaruhi pikiran orang lain melalui kata-katanya, kita sebagai penerima informasi harus lebih bijaksana untuk memilih siapa yang harus difollow. Sebelum zaman twitter kayak sekarang ini, orang-orang banyak dipengaruhi oleh buku yang ia baca. Pikiran seseorang banyak dipengaruhi oleh cara berpikir si pengarang buku. Nah, kalau zaman sekarang ya hampir sama saja, twitter bisa mempengaruhi cara berpikir kita. Sayangnya kelemahan twitter adalah, yang bisa berbicara di sana adalah semua orang. Kita nggak tahu siapa orang itu secara nyata, cuma lewat bio singkat. Dan bagaimana mungkin kita mempercayai omongan dari orang yang gak kita kenal? Kalau di buku itu kan ada halaman biografi penulis, dari situ kita bisa mengenal pengarang buku tersebut. dan itu menjadi salah satu pertimbangan kita dalam mengambil keputusan untuk membaca buku tersebut atau tidak. Dan biasanya kalau kita googling nama pengarang buku tersebut juga ada biografinya. Buku-buku yang disajikan di toko buku adalah buku yang sudah mengalami proses penyuntingan (editorial), serta tercetak ISBN nya yang berarti sudah lolos standar, atau layak baca. Nah, bagaimana dengan standar kelayakan di twitter? 

Memang itu semua kembali kepada hak kita untuk mem-follow siapa pun yang kita suka, tapi ada baiknya kalo kita juga tidak mengikuti arus, mainstream, ikut-ikutan follow gara-gara temen-temen kalian pada ngefollow, atau gara-gara orang-orang keren pada ngefollow. Padahal dalam agama Islam kita dianjurkan untuk punya sikap sendiri. Ikut-ikutan dalam hal kebaikan sangat dianjurkan. Namun dalam hal tidak ada kebaikan di muka bumi ini, apakah kita juga harus ikut-ikutan tidak baik? Maka dari itu, Islam mengajarkan kita untuk punya suatu sikap, yang prinsip. Di saat orang-orang di sekitar kita bersikap baik kita pun bersikap baik, dan jika di sekitar kita bersikap buruk, kita pun harus tetap bersikap baik. Begitu pun kalo diterapkan di dunia pertwitteran, followlah akun yang kita kenal (tahu) bukan karena banyak temanmu yang memfollow akun tersebut, tapi karena kita setuju dengan attitude akun tersebut di twitter dan jangan ragu untuk unfollow jika memang gak suka. Dan fyi, gue unfollow akun twitter @sudjiwo_tedjo karena dia nulis sesuatu yang, menurut gue, tidak santun.

IFRS di Indonesia


IFRS di Indonesia
Oleh: Alin Tamanna Rahmani
1I/103060017590

International Financial Reporting Standard (IFRS)

Setiap negara memiliki prinsip-prinsip dan prosedur akuntansi yang berbeda dalam rangka menyusun laporan keuangan di masing-masing negara. Perbedaan dalam penyusunan laporan keuangan di tiap negara tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang kompleks dan saling terkait, misalnya dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, sejarah, hukum, dll. Masing-masing negara tentunya memiliki kondisi yang berbeda-beda terkait faktor-faktor tersebut. Namun secara teoritis, pengembangan sebuah standar akuntansi internasional adalah memungkinkan di tengah-tengah adanya perbedaan tersebut. Sampai saat ini terdapat lima teori akuntansi yang dikembangkan oleh para ilmuwan akuntansi antara lain: (1) teori universal, (2) multinasional, (3) teori komparatif, (4) teori transaksi-transaksi internasional, dan (5) teori tranlasi.

Dalam hal ini, untuk menyelesaikan dan mendamaikan perbedaan dalam standar akuntansi di setiap negara serta merintis terbentuknya standar akuntansi yang kelak berlaku secara universal, maka diterbitkanlah IAS (International Accounting Standard)  pada tahun 1974, setelah satu tahun dibentuknya IASC (International Accounting Standard Committee) pada tahun 1973.

International Financial Reporting Standard (IFRS) adalah sebuah standar yang kerangka dan interpretasinya diadopsi oleh Accounting Standard Board (IASB). Adapun standar yang membentuk bagian dari IFRS yang telah dikenal terlebih dahulu adalah International Accounting Standard (IAS) yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Committee (IASC). Pada tanggal 1 April 2001, IASB mengambil alih tanggung jawab untuk menetapkan standar akuntansi internasional dan kemudian terus mengembangkan IFRS menuju IFRS baru.

IFRS merupakan standar pelaporan keuangan internasional yang menjadi rujukan atau sumber konvergensi bagi standar-standar akuntansi negara-negara di dunia, termasuk standar akuntansi keuangan di Indonesia. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) telah melakukan konvergensi mulai tahun 2009 dan diharapkan akan selesai tahun 2012. Selain IFRS, sumber konvergensi adalah International Accounting Standard (IAS).

IFRS diterbitkan dan dikelola oleh IASB (International Accounting Standard Board), sebuah dewan standar independen yang berbasis di London. IASB yang terbentuknya didahului oleh IASC adalah hasil dari penyertaan dan keterlibatan badan-badan akuntansi dari berbagai negara, antara lain: Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Belanda, Britania Raya, Irlandia, dan Amerika. Badan-badan ini merupakan dewan IASC pada saat itu. Mereka merupakan bagian dari IFAC sebagai organisasi induk IASC. Pada tahun 1999, setelah melakukan proses peninjauan kembali selama dua tahun, dewan IASC menyetujui rencana restrukturasi dalam tubuh IASC. Menurut ketentuan restrukturisasi, dewan IASC akan menjadi sebuah entitas yang terpisah dari induknya dan akan menjadi entitas non profit yang diatur oleh para wali. IASC akan melakukan pendanaan terhadap IASB, yang pada gilirannya akan bertanggung jawab untuk teknis agenda pengembangan dan persetujuan IFRS baru.

IFRS digunakan di banyak bagian dunia, termasuk Uni Eropa, Hong Kong, Australia, Malaysia, Pakistan, negara-negara GCC, Rusia, Afrika Selatan, Singapura, dan Turki. Sejak 27 Agustus 2008, lebih dari 113 negara di seluruh dunia, termasuk di seluruh Eropa saat ini membutuhkan atau mengizinkan pelaporan berdasarkan IFRS. Sekitar 85 negara membutuhkan pelaporan IFRS untuk semua perusahaan domestik yang terdaftar. Sedangkan di Indonesia sendiri IFRS baru akan diadopsi mulai tahun 2012 mendatang.

Struktur IFRS

IFRS dianggap sebagai kumpulan standar “dasar prinsip” yang kemudian menetapkan peraturan badan juga mendikte penerapan-penerapan tertentu. Standar laporan keuangan internasional mencakup:

  1. International Financial Reporting Standard (IFRS), yaitu peraturan-peraturan standar laporan keuangan internasional yang diterbitkan setelah tahun 2001
  2. International Accounting Standard (IAS), yaitu peraturan-peraturan standar akuntansi internasional yang dikeluarkan sebelum tahun 2001
  3. Interpretasi yang diterbitkan oleh International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC), yaitu komite interpretasi laporan keuangan internasional yang dikeluarkan setelah tahun 2001
  4. Interpretasi yang diterbitkan oleh Standing Interpretations Committee (SIC) sebelum tahun 2001
  5. Kerangka Penyajian dan Penyusunan Laporan Keuangan

Secara garis besar ada empat hal pokok yang diatur dalam standar akuntansi. Yang pertama berkaitan dengan definisi elemen laporan keuangan atau informasi lain yang berkaitan. Definisi digunakan dalam standar akuntansi untuk menentukan apakah transaksi tertentu harus dicatat dan dikelompokkan ke dalam aktiva, hutang, modal, pendapatan, dan biaya. Yang kedua adalah pengukuran dan penilaian. Pedoman ini digunakan untuk menentukan nilai dari suatu elemen laporan keuangan baik pada saat terjadinya transaksi keuangan maupun pada saat penyajian laporan keuangan (pada tanggal neraca). Hal ketiga yang dimuat dalam standar adalah pengakuan, yaitu kriteria yang digunakan untuk mengakui elemen laporan keuangan sehingga elemen tersebut dapat disajikan dalam laporan keuangan. Yang terakhir adalah penyajian dan pengungkapan laporan.

Berikut menurut Frederick D. S. Choi dan Gary K. Meek dalam bukunya International Accounting 5th Edition 2005, beberapa contoh perlakuan-perlakuan akuntansi yang berbeda disebabkan oleh adanya penggunaan standar yang berbeda:

  1. Standar akuntansi di Inggris Raya memperbolehkan perusahaan menggunakan penilai untuk menentukan nilai pasar wajar atas aset tetapnya, dan hal tersebut tidak boleh dilakukan di Amerika.
  2. Standar akuntansi di Meksiko memperbolehkan perusahaan untuk menyesuaikan nilai persediaannya terhadap laju inflasi, dan kebanyakan negara lain melarang hal tersebut.
  3. Standar akuntansi di Amerika Serikat memperbolehkan goodwill dikapitalisasi dan dijadikan beban hanya jika goodwill tersebut mengalami penurunan nilai, sedangkan di beberapa negara lain goodwill dapat disusutkan dengan periode yang berbeda-beda.
  4. Standar akuntansi di beberapa negara pemberian fasilitas kepada pekerja semisal fasilitas kesehatan boleh diakui sebagai kewajiban, sedangkan di negara lain hal tersebut baru diakui ketika fasilitas tersebut dibayarkan.
  5. Standar akuntansi di beberapa negara lebih mementingkan pengakuan pendapatan dengan menggunakan basis kas dan bukan dengan basis akrual.

Untuk mencegah timbulnya permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam standar akuntansi yang digunakan oleh berbagai negara, Dewan Komite Standar Akuntansi Internasional (Board of  IASC) yang didirikan pada tahun 1973 mengeluarkan standar akuntansi internasional (IAS) yang kemudian diikuti dengan interpretasi tentang IAS dalam bentuk SIC (Standing Interpretations Committee).

Tujuan keseluruhan adalah untuk menciptakan guna standar akuntansi di masa mendatang yang berbasis prinsip, konsisten secara internal, dan diterima secara internasional.

IFRS di Indonesia

  1. Tidak ada standar akuntansi yang dipakai di Indonesia selama dalam penjajahan Belanda. Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) gaya Belanda.
  2. Sampai tahun 1955 Indonesia belum mempunyai undang-undang resmi / peraturan tentang standar keuangan.
  3. Pada tahun 1974 Indonesia mengikuti standar akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan Prinsip Akuntansi.
  4. Pada tahun 1984 Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar akuntansi.
  5. Pada akhir tahun 1984 Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC.
  6. Sejak tahun 1994 IAI sudah berkomitmen mengikuti IASC / IFRS.
  7. Pada tahun 2008 diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan.
  8. Pada tahun 2012 mendatang apakah Indonesia akan mengikuti IFRS sepenuhnya?

Di Indonesia laporan keuangan yang disampaikan kepada Bapepam (Badan Pengembangan Pasar Modal) wajib disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan praktik akuntansi yang lazim berlaku di pasar modal. Selain itu, tanpa mengurangi ketentuan yang ada Bapepam berwenang menetapkan ketentuan akuntansi di bidang pasar modal. Dalam penyusunan PSAK, IAI mengacu pada IAS / IFRS dengan tetap mempertimbangkan faktor lingkungan usaha yang ada. Harmonisasi PSAK dengan IAS terus dilakukan dalam upaya mendukung program harmonisasi yang diprakarsai oleh IASB. Terkait dengan hal pengembangan suatu standar akuntansi dikarenakan adanya tuntutan perkembangan dunia usaha di Indonesia yang belum diatur dalam IAS atau tidak dapat diadopsi untuk kondisi di Indonesia, pengadopsian IFRS di banyak negara mengikuti pola yang berbeda tanpa melihat apakah negara tersebut mengikuti Code Law atau Anglo Saxon Accounting. Untuk negara tertentu seperti Inggris pengaruh IFRS tidak terlalu besar. Namun, untuk negara-negara lain akan terjadi pengaruh yang sangat besar.

Sumber:

Minggu, 20 Januari 2013

Bulan

Bulan abu-abu di layar tampaknya malu-malu
Selamat malam, Bulan
Bulan dalam genggaman tangan Gru
Rembulan dalam cangkir capuccino Alina
Bulan purnama yang menjemput Putri Kaguya
The curved moon behind my door




Sabtu, 19 Januari 2013

Berpikir


Waktu kecil sampai remaja, kita melakukan hal ini dan itu (apa) karena disuruh dan juga meniru. Wajar, karena kita belum bisa mencari informasi, belum mampu mencapai tahap berpikir secara terbuka dan kritis. Namun ketika kita mulai menuju kedewasaan, mulai dibiarkan dan dibiasakan untuk mencari informasi seluas-luasnya, dalam melakukan hal ini dan itu (apa) diperlukan pertanyaan kenapa. Kenapa kita harus makan? Bukan hanya karena kita lapar. Tapi karena untuk menjaga organ-organ tubuh kita agar tetap bekerja secara baik, agar sel-sel dapat melakukan fungsi biologisnya. Dan ketika kita tahu bahwa itulah alasan kenapa kita harus makan, maka akan timbul suatu kesadaran untuk melakukan hal ini: makan. Kemudian kita akan kembali berpikir, bagaimana makan yang benar? Karena pada hakikatnya manusia berpikir (cogito ergo sum) menggunakan naluri dasar filsafat kita: mencari kebenaran. Maka kemudian kita kembali mencari informasi dan timbul kesadaran baru untuk (melakukan) makan yang benar, misalnya makan 3 kali sehari, 4 sehat 5 sempurna, dll. Begitulah tahap berpikir manusia. Socrates yang terkenal dengan maieutike tekhne, berpikir melalui dialektika dan metode interpretatio fraterna.

Rindu


Di antara terik dan temaram ada rindu yang melebur pada senja. Aku saja.

Pencapaian Indonesia dalam Pemberantasan Korupsi

Reportase
Oleh: Alin Tamanna Rahmani

SEMINAR ANTI KORUPSI “MENUJU TERCIPTANYA ABDI NEGARA YANG BAIK DAN BERSIH, BEBAS DARI KORUPSI!”

Seminar Anti Korupsi yang digelar oleh BEM STAN dan SPEAK STAN (Spesialisasi Anti Korupsi STAN) pada hari Sabtu, 15 Desember 2012 ini merupakan bagian dari rangkaian acara SANY: Speak Anniversary 6th bertempat di gedung G Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan mengusung tema “Menuju terciptanya abdi negara yang baik dan bersih, bebas dari korupsi!” yang menghadirkan 2 orang pembicara, yaitu Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M, Ph.D sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM RI dan Wuryono Prakosa dari KPK RI. Peserta seminar adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, serta mahasiswa dari Forum Komunikasi Mahasiswa Kedinasan dengan moderator Bang Zega yang merupakan dosen terfavorit di STAN.

Bahasa Indonesia dan Puisi


Oleh: Berthold Damshauser*

Sudah saatnya saya melapor lagi tentang sebuah diskusi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitass Bonn. Bayangkan! Di antara mahasiswa saya ada yang tertarik pada puisi Indonesia! Bahkan ada yang mencoba menerjemahkannya ke bahasa Jerman. Namun upaya itu mengakibatkan mereka frustrasi.
“Pak, susah sekali memahami teks berbagai puisi Indonesia. Kami bingung, lalu bertanya kepada orang Indonesia, apa kiranya maksud kalimat-kalimat tertentu. Jawaban yang kami terima belum jelas juga karena teman-teman Indonesia memberi keterangan yang sangat berbeda, bahkan bertentangan.”
Lho,” jawab saya, “puisi memang memungkinkan banyak tafsiran.”
“Kami tahu, Pak, tapi keterangan yang berbeda-beda itu tidak menyangkut interpretasi puisi secara menyeluruh, melainkan keterangan tentang maksud sebuah kalimat, katakanlah tentang narasinya. Sepertinya, penutur asli pun kesulitan mengetahui dengan pasti hubungan sintaktis-semantis di antara kata-kata, terutama jika terdapat enjambment atau saat penyair tidak pakai titik dan koma.”
“Mengapa heran?” tanya saya seraya menambahkan: “Tentang ketaksaan bahasa Indonesia sudah lama Anda tahu, kan? Ingat dong sila legendaris dalam Pancasila yang berbunyi ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan’. Untuk memahami kalimat demikian, diperlukan kepandaian hermeneutika yang luar biasa. Puisi Indonesia juga begitu.”
“Tapi hal itu sangat mempersulit kami sebagai penerjemah. Kami kan mesti punya dasar semantika yang kukuh.”
“He-he…”, kata saya bergurau, “menerjemahkan bahasa Indonesia memang harus menjadi maestro. Kalau tidak Anda akan mengalami penderitaan.”
“Pak, mohon serius, ya!” Sebuah suara tajam yang saya kenal, suara mahasiswa cerdas yang sering merepotkan saya, terdengar.“Bukankah Bapak sebagai penerjemah pun sering bingung menghadapi teks berbagai puisi Indonesia? Bapak pernah bercerita bahwa Bapak pernah bertanya langsung kepada seorang penyair senior Indonesia mengenai maksud sebuah larik atau kalimat yang tidak Bapak pahami. Lalu, begitu cerita Bapak, sang penyair melihat larik itu, lama merenung, kemudian bertanya kepada diri sendiri: ’Apa ya yang dulu kupikirkan?’”
“Ya, Pak,” seorang mahasiswa menimpali, “saya ingat anekdot ini. Dan saat Bapak menyampaikannya kepada seorang penyair junior Indonesia, ia dengan keluguan yang menakjubkan mengaku bahwa ia pun kerap tidak ingat lagi apa yang dimaksud oleh kalimat tertentu dalam puisi-puisinya. Bukankah itu skandal, Pak?”
“Ah, itu manuasiawi saja. Bagaimana orang sanggup ingat makna segala sesuatu yang pernah ditulisnya? Sebagian tentu sudah tenggelam dalam samudra masa nan silam, sirna-pudar tiada bersisa.” Wajah saya berseri, bangga oleh jawaban yang puitis itu, meski hati tak yakin arifkah sikap ini. Namun mahasiswa toh tak menggubrisnya. Mereka mencecar dengan pertanyaan lain.
“Pak, andai betul teks puisi Indonesia kerap susah dipahami, bahkan oleh penciptanya sendiri, mengapa hal itu tak pernah dipermasalahkan oleh kalangan sastra, khususnya kritikus sastra?”
“Untuk apa mereka mesti mengurusi pengandaian mahasiswa Jerman?” saya menukas dengan dingin.
Mereka tidak terpengaruh. Bahkan suara yang saya kenal itu terdengar lagi. “Apa itu karena pembaca Indonesia, termasuk para kritikus, jarang bersedia mengadakan close reading, tak mau meneliti teks puisi secara mendalam, hingga tak menyadari jalan tidaknya logika dalam teks yang mereka baca?’
“Ini mulai kurang ajar, bisik hati saya. Saya menjawab, “Puisi sesuatu yang mesti dipahami dengan jiwa, mesti dirasakan bunyinya, iramanya, tentu juga kegelapannya.”
Desakan tidak berkurang, “Apakah puisi di Indonesia barangkali sesuatu yang ditulis dengan tujuan utama dideklamasikan, bahkan diteriakkan dengan penuh patos dalam acara-acara meriah? Sesuatu yang suka didengarkan, bukan untuk dipahami, bukan untuk dibaca dengan sungguh-sungguh?”
“Begini,” saya berusaha untuk kembali memegang kendali, “kita patut menerima estetika berbeda, katakanlah estetika ketaksaan yang terdapat pada berbagai puisi Indonesia.”
“Andai ketaksaan disengaja oleh penyairnya, tentu kami terima, Pak! Dan satu hal kiranya perlu ditekankan berkaitan dengan ketaksaan itu. Menulis dalam bahasa yang sifatnya taksa mesti sangat hati-hati. Kalau tidak, akibatnya sudah bisa diduga.”
Kurang ajar, mereka mau menggurui orang. Saya hunus senjata pamungkas, yaitu nasihat: “Hindarilah kesombongan, janganlah tenggelam di lumbung orientalisme!”
Mereka terdiam, tapi Cuma sebentar, lalu terkikik dan ngobrol di antara mereka dengan bisingnya. Lonceng, sudilah berbunyi!

*) KEPALA PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS BONN, PEMIMPIN REDAKSI ORIENTIERUNGEN, DAN REDAKTUR JURNAL SAJAK

Artikel ini diambil dari Majalah Tempo **lupa lihat edisi ke- berapa, tahun berapa