Senin, 22 Oktober 2012

Mungkinkah Birokrasi Bebas dari Korupsi?

Oleh: Alin Tamanna Rahmani

Perilaku koruptif para birokrat dan pejabat di lingkungan pemerintahan merupakan sasaran empuk bagi kuli tinta untuk diolah menjadi berita yang menggugah perhatian masyarakat. Munculnya berita di media massa tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan birokrat dan pejabat pemerintah menimbulkan pertanyaan yang klise oleh masyarakat: apakah yang salah dalam birokrasi?

Sejauh ini, dalam 2 periode pemerintahan Presiden SBY memang permasalahan terkait korupsi para birokrat dan pejabat menjadi keprihatinan dan perhatian yang serius. Upaya pemerintah dalam menegakkan hukum melalui produk Undang-undang Tipikor dan diselenggarakannya pengadilan Tipikor, serta penanganan kasus korupsi oleh lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus dievaluasi. Di samping itu, masyarakat juga turut menunjukkan kepedulian yang sama terhadap korupsi dan ikut menggagas solusi berkaitan dengan merajalelanya praktek korupsi yang berimplikasi pada kerugian, yakni seperti yang kita rasakan sekarang bahwa korupsi menjadikan pembangunan nasional menjadi terhambat, serta merosotnya kualitas infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum.

Birokrasi, Korupsi, dan Pentingnya Komitmen

Konsep birokrasi, secara lazim merujuk pada gagasan Max Weber (1864-1920). Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Cracy (kratos) menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam padanan kata yang lain seringkali kata birokrasi dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan merupakan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.[1] Untuk memahami konsep birokrasi dari pemikiran Weber agaknya terlampau luas dan diperlukan kajian yang cukup mendalam. Namun dapat penulis kutip secara ringkas, dalam perspektif Weber birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap karakteristik yang melekat di dalamnya. Karakteristik yang dimaksud antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas.[2] Dari pendapat tersebut, birokrasi dapat diartikan sebagai organisasi itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintahan yang memiliki struktur terkait jabatan, tugas, wewenang, dan lainnya. Namun demikian, dengan segenap karakteristik yang disebutkan sebelumnya, birokrasi secara sempit dapat dipahami sebagai suatu sarana untuk dapat mencapai tujuan organisasi tersebut (pemerintahan/negara). Untuk mencapai tujuan organisasi (negara) yang tercantum dalam UUD 1945, maka birokrasi di sini sebagai suatu sarana yang menentukan akan terwujudnya keinginan-keinginan rakyat untuk hidup bersama dalam kesejahteraan. Dalam praktek pelaksanaan birokrasi inilah kemudian muncul hambatan-hambatan administrasi dan politik, seperti timbulnya korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik.

Jika pertanyaan selanjutnya yang muncul ialah: mungkinkah birokrasi/pemerintahan di Indonesia bebas dari korupsi? Sangatlah mungkin birokrasi di negara kita bebas dari korupsi, asalkan pemerintah dan rakyat saling bekerja sama dan berkomitmen dalam menjalankan fungsi masing-masing untuk mewujudkan Good Governance. Konsep Good Governance dinyatakan dalam UNDP (1997), bahwa pemerintahan yang baik ialah yang memiliki akuntabilitas, transparansi, partisipasi, tertib hukum, responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta memiliki visi strategis.[3] Dalam mewujudkan good governance, komponen yang terlibat bukan hanya domain pemerintah sebagai pelaksana, melainkan juga meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal dan masyarakat selaku civil society yang masing-masing dari komponen ini memiliki fungsi social control. Dalam hal fungsi social control dibutuhkan adanya semacam partisipasi publik, yaitu setiap individu yang terlibat dalam lingkungan internal dan eksternal birokrasi (pemerintah dan masyarakat) diharapkan tidak bersikap permisif. Misalnya, masyarakat jangan segan-segan untuk melapor kepada yang berwenang atas indikasi dan tindakan penyimpangan yang mereka temui pada saat terlibat dalam kegiatan pengurusan administrasi oleh pejabat atau birokrat. Di lingkungan internal pelaksana birokrasi, laporkan rekan anda apabila diketahui melakukan tindakan kecurangan pada saat bekerja di kantor maupun di luar kantor. Selain itu agar kita tidak bersikap permisif, yakni membiarkan tumbuh suburnya perilaku koruptif ini, tiap-tiap individu baik masyarakat maupun pemerintah sendiri dapat mencegah tumbuhnya korupsi melalui kontribusi pemikiran logis dalam rangka membenahi tatanan sistem administrasi yang sudah ada. Misalnya, pemerintah memberikan gagasan pemberatan hukuman bagi koruptor dan membahasnya lebih lanjut, dan sebagai masyarakat kita juga dapat menyampaikan gagasan baik melalui tulisan maupun dengan aksi “turun ke jalan”. Sikap inilah yang disebut komitmen masing-masing individu, untuk saling bekerja sama dalam rangka mewujudkan good governance, yakni pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Reformasi Birokrasi

Ada salah satu gagasan pemerintah saat ini dalam rangka membenahi sistem pemerintahan, yaitu dengan menciptakan reformasi birokrasi. Jika secara politis birokrasi merupakan instrumen kekuasaan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa yang dituangkan dalam bentuk kebijakan politik formal, semestinya reformasi birokrasi diarahkan pada upaya penciptaan situasi yang kondusif agar birokrasi netral dari pengaruh kekuasaan yang berlebihan.[4] Jadi, reformasi birokrasi menciptakan environment control dari sistem/birokrasi yang telah berjalan, yaitu lingkungan dimana orang-orang yang bekerja di dalamnya sadar akan pentingnya pengendalian internal. Reformasi birokrasi menggerakkan orang-orang yang berada di dalam sistem agar dapat secara sadar saling mengawasi satu sama lain untuk mencegah adanya kecurangan dan kelalaian dalam bekerja demi tercapainya tujuan organisasi.

Reformasi birokrasi sebagaimana digambarkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, yaitu sasaran lima tahun pertama (2010 s.d. 2014) difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Jadi secara keseluruhan, reformasi birokrasi ini merupakan suatu perencanaan dalam periode tertentu, yang sedang berada dalam proses pelaksanaan secara bertahap. Itulah mengapa dikatakan bahwa untuk mencapai reformasi birokrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan kata lain, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih juga membutuhkan proses dan waktu yang sangat lama.

Berkaitan dengan reformasi birokrasi, sepanjang yang kita ketahui dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilaksanakannya UU Tipikor, adanya pengadilan Tipikor dan lembaga independen KPK bisa kita anggap sebagai komitmen pemerintah. Selain itu, dalam hal pembenahan sistem administrasi, Kementerian Keuangan sebagai domain yang mengelola Keuangan Negara juga melakukan reformasi birokrasi melalui pengendalian internal yang efektif, termasuk juga di bidang perpajakan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan. Dalam hal kasus korupsi yang lain, misalnya untuk menghalangi pejabat melakukan modus kecurangan berupa mark up anggaran, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ), ada yang disebut Pakta Integritas sebagai pengikat/komitmen bagi pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk tidak melakukan korupsi.

Masih banyak pembenahan dalam birokrasi yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah, dan bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang individu, katakanlah presiden, atau pemimpin, untuk dapat memberi pengaruh kepada individu-individu yang lain untuk bersama-sama bergerak dalam satu pikiran dan tujuan yang baik. Oleh karena itu, diharapkan reformasi birokrasi menciptakan suatu kondisi yang ‘memaksa’ pemerintah, agar pemerintah memiliki komitmen untuk membersihkan birokrasi.


[1] Dr. Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2011, hlm 22
[2] Dr. Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance, hlm 23
[3] Ibid, hlm 26
[4] Dr. Muhadam Labolo, Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance, hlm 34

Sabtu, 06 Oktober 2012

Dari Pujangga Lama hingga Angkatan 66


Pujangga Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20 adalah karya sastra Pujangga Lama  Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Contoh-contoh karya Sastra Pujangga Lama antara lain:
  • Sejarah Melayu
  • Hikayat Abdullah – Hikayat Andaken Penurat – Hikayat Bayan Budiman – Hikayat Djahidin – Hikayat Hang Tuah – Hikayat Kadirun – Hikayat Kalila dan Damina – Hikayat Masydulhak – Hikayat Pandja Tanderan – Hikayat Putri Djohar Manikam – Hikayat Tjendera Hasan – - Tsahibul Hikayat
  • Syair Bidasari – Syair Ken Tambuhan – Syair Raja Mambang Jauhari – Syair Raja Siak
dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya.

Pujangga Baru

Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan. Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.
Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s.d. 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.

Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.


Angkatan 45

Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya dimajalah Siasat tanggal 9 Januari 1949, memberikan nama angkatan 45 bagi pengarang-pngarang yang muncul pada tahun 1940-an, yakni sekitar penjajahan Jepang, zaman Proklamasi dan berikutnya. Diantara mereka yang lazim digolongkan sebagai pelopornya adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya, Usmar Ismail, dsb. Namun sesungguhnya, tidak hanya itu saja saja alasan untuk memasukkan mereka kedalam angkatan yang lebih baru dari Pujanga Baru. Jelasnya, terlihat sekali pada karya-karya Chairil dimana ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional kita dalam bersajak. Lebih dari itu, “jiwa” yang terkandung dalam sajak-sajaknya terasa adanya semacam pemberontakan. Kendatipun demikian tak lepas dari pilihan kata-kata yang jitu, yang mengena, sehingga terasa sekali daya tusuknya. Di bidang Prosa, Idrus dianggap sebagai pendobraknya dan sebagai pelanjut dari Pujangga Baru, bersama kawan-kawannya ia berkumpul dalam Angkatan 45.Landasan yang digunakan adalah humanisme universal yang dirumuskan HB Jassin dalam Suat kepercayaan Gelanggang. Jadi angkatan 45 merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra Indonesia, dengan meninggalkan cara-cara lama dan menggantikannya dengan yang lebih bebas, lebih lugas tanpa meninggalkan nilai-nilai sastra yang telah menjadi kaidah dalam penciptaan sastra.

Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura. Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka antara lain:
  • Merari Siregar
Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)
Binasa kerna gadis Priangan! (1931)
Tjinta dan Hawa Nafsu
  • Marah Roesli
Siti Nurbaya
La Hami
Anak dan Kemenakan
  • Nur Sutan Iskandar
Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
Hulubalang Raja (1961)
Karena Mentua (1978)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
  • Abdul Muis
Pertemuan Djodoh (1964)
Salah Asuhan
Surapati (1950)
Tulis Sutan Sati
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Disangka
Tak Membalas Guna
Memutuskan Pertalian (1978)
  • Aman Datuk Madjoindo
Menebus Dosa (1964)
Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya
  • Suman Hs.
Kasih Ta’ Terlarai (1961)
Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
Pertjobaan Setia (1940)
Adinegoro
Darah Muda
Asmara Jaya
  • Sutan Takdir Alisjahbana
Tak Putus Dirundung Malang
Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)
Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)
  • Hamka
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
Tuan Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)


Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.

Angkatan 66

Tentang Angkatan 66 ada empat orang penulis yang mengutarakannya. Mereka itu HB Jassin dalam angkatan 66 Prosa dan Puisi (1968) , Satyagraha Hoerip artikelnya dalam horison yang berjudul Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita (1966) , Artikel Aoh K Hadimadja berjudul Daerah dan Angkatan 66 majalah Horizon-1967, Artikel Racmat djoko Pradopo Penggolongan Angkatan dan angkatan 66 dalam Sastra-Horison Juni 1967. Mereka memang saling berbeda pendapat atau persepsi namun tak begitu prinsipil karena sesungguhnya tidak ada pihak yang dirugikan. Bagi mereka, para pengarang itu, masuk golongan apapun tak jadi soal. Akan tetapi menurut HB Jassin, “Angkatan 66 Bangkitya Satu Generasi” (Horison, Agustus 1966) adalah suatu angkatan. Adapun yang termasuk dalam angkatan 66 ini menurutnya adalah mereka-mereka yang takkala proklamasi kemerdekaan (1945) kira-kira berumur enam tahun dan baru masuk SD/SR. Jadi tahun 1966 baru sekitar 20-an tahun. Mereka itu telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 1955-an seperti Kisah, Siasat , Mimbar Indonesia , Budaya, Crita, Sastra, Konfrontasi, Basis, Prosa dan sebagainya.

Untuk angkatan 66 seperti yang digolongkan oleh HB Jassin itu, yang lain sekitar zaman pendudukan Jepang, menurut Satyagraha Hoerip lebih tepat kalau dimasukkan ke dalam angkatan Manifes ( Horison Desember 1966 ). Tentu saja bukannya tanpa alasan. Sebab memang merekalah yang sebagian besar tergabung atau justru terang-terangan mendukung adanya Manifes Kebudayaan di tahun 1964 yang kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno tahun berikutnya.

Dengan demikian bisa dicatat nama-namanya , antara lain : Ajip Rosidi, Rendra, Taufiq Ismail, Hartojo Andangjaya, Mansur Samin, Goenawan Muhammad, Djamil Suhirman , Bur Rasuanto, Bokor Hutasuhut, Bastari Asnin, dll. Jadi yang temasuk angkatan 66 ini bukannya yang baru menulis sejak adanya perlawanan ditahun 1966. Tetapi, justru yang telah sejak beberapa tahun sebelumnya dengan satu kesadaran.

Ajip Rosidi didalam kertas kerjanya di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa Kedua Jakarta tahun 1960, malahan sudah menggunakan istilah Angkatan Terbaru. Menurutnya, mereka muncul pada saat dunia sastra kita digamangi oleh kemuraman karena adanya krisis, kelesuan dan impase (kebuntuan). Mereka merupakan hasil pengajaran yang tumbuh dalam pengaruh kesusasteraan Indonesia. Mereka telah memberikan nilai baru terhadap ilham dan tempat berpijak serta berakar secara kultural. Untuk lebih jelasnya, lihat buku Ajip Rosidi Kapan Kesusasteraan Indonesia Lahir (1968), juga simak tulisan HB Jassin Angkatan 66, Bangkitnya satu generasi, dalam bukunya Angkatan 66 Prosa dan Puisi terbitan tahun 1968.

**disadur dari berbagai sumber

Puisi Agus Noor


Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni

: SDD

Ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, ialah ia, yang terus mencintaimu, meski kau tak pernah menyadari, dan selalu berjaga dalam kesedihan dan kebahagiaanmu
Ialah yang menggeletar dalam doa-doamu, tanpa pernah kau menyadari, dan kau pun tentram karena merasa ada yang selalu menjagamu
Tanpa pernah kau menyadari, ia diam-diam menjelma bayanganmu, hingga bahkan pun dalam sunyi kau tak lagi merasa sendiri.
Ia, yang sungguh lebih tabah dari hujan bulan Juni, selalu berbisik lembut di telingamu, meski kau tak pernah menyadari, dan seluruh kenanganmu menjadi hangat dalam ingatan
Saat kau terisak menahan tangis, ia yang lebih bijak dari bulan Juni, merasuk ke dalam dadamu yang disesaki duka, hingga kau semakin memahami: betapa airmata mencintai orang yang paling dicintainya dengan cara menjatuhkan diri
Ia jugalah yang menyelusup ke paru-parumu, tanpa sekali pun pernah kau menyadari, ketika kau mendadak tersengal oleh entah apa, dan segalanya tiba-tiba saja menjadi terasa lega
Ketika senja, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tanpa pernah kau menyadari, meruapkan hangat ke dalam teh yang tengah kau nikmati pelan-pelan, hinga kau merasakan sore begitu damai dan menentramkan
Ia jualah yang terus duduk di sampingmu, tanpa pernah kau menyadari, menemanimu dengan sabar memandangi cahaya senja yang perlahan memudar, dan kau bersyukur pada segala yang sebentar
Dan ketika kau tidur, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tak lelah berjaga: dihapusnya debu kecemasan yang berguguran dalam mimpimu
Ada yang jauh lebih tabah dari hujan bulan Juni, lebih bijak, dan lebih arif, tetapi kau tak pernah menyadari, meski selalu ada di kesedihan dan kebahagiaanmu, karena ia tak henti-henti mencintaimu

2010

Jumat, 05 Oktober 2012

Sajak Telur

Dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung 
semoga ada engkau dalam setiap engkau 
semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur


("Sajak Telur", Sapardi Djoko Damono, 1982)

Puisi Persahabatan


Puisi Persahabatan
:untuk semua manusia yang menemukan persahabatan

Ada perihal yang kau sebut persahabatan
Ialah ketika kau sadar bahwa jauh darinya seperti menunggu musim semi yang tak kunjung tiba,
Sementara hanya beralih musim dingin ke musim gugur, dan ke musim panas tanpa kau temukan penawar kerinduan,
Dan kau akan selalu mengingat sosoknya yang istimewa,
Menyusul satu tawa yang kau lepas seperti ketika melihat semburat pelangi yang sembunyi di lipatan langit, di sela-sela rinai hujan yang menyerah,
Dia, sahabatmu adalah keindahan yang membuatmu selalu tersenyum setiap kali kau menemukannya.
Kau bahkan dibiarkannya tak tahu siapa yang menitipkan kebaikan-kebaikan kecil untukmu lewat Tuhan,
karena sahabat adalah ruang ketulusan yang tak terbatas oleh jarak dan waktu.
Dan sahabat adalah yang kau definisikan sebagai rasa sayang
Yang telah menyentuh hati dan membukanya agar tercipta perubahan dalam caramu menjalani kehidupan.
Dialah sahabat yang dikirim Tuhan untukmu
Sahabat yang membagi semangat, yang bersamamu membangun tembok ketegaran yang tak pernah selesai.

April 2011, persahabatan adalah kerinduan, keindahan, kebaikan, ketulusan, rasa sayang, dan ketegaran..

**buah karya Alin Tamanna Rahmani

Kamis, 04 Oktober 2012

Romance (1829)

Romance, who loves to nod and sing,
With drowsy head and folded wing,
Among the green leaves as they shake
Far down within some shadowy lake,
To me a painted paroquet
Hath been –a most familiar bird –
Taught me my alphabet to say –
To lisp my earliest words
While in the wild wood I did lie,
A child –with a most knowing eye.
Of late, eternal Condor years
So shake the very Heaven on high
With tumult as they thunder by,
I have no time for idle cares
Through gazing on the unquiet sky,
And when an hour with calmer wings
Its down upon my spirit flings—
That little time with lyre and rhyme
To while away—forbidden things!
My heart would feel to be a crime
Unless it trembled with the strings.

Edgar Allan Poe
(American author)

Take Home AKP

Alin Tamanna Rahmani
2C / 103060017590

Tanggapan


Jurnal Dialog Kebijakan Publik: Menyoal Rencana Kebijakan Pengendalian Subsidi BBM
Edisi 1 /April / 2011 / ISSN: 1979-3499 diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika 2011
“Dimensi Kerakyatan dalam Subsidi BBM” ditulis oleh: Awan Santosa (Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Staf Pengajar di Universitas Mercu Buana Yogyakarta)

Menanggapi paparan yang dikemukakan oleh Awan Santosa dalam tulisan yang berjudul Dimensi Kerakyatan dalam Subsidi BBM, dapat diambil informasi bahwa kebijakan penghapusan atau pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah tidak perlu dilakukan. Pasalnya penghapusan atau pengurangan subsidi BBM hanya akan memperkuat dominasi korporat dalam upaya mereka menguasai pasar BBM dalam negeri. Berlandaskan perspektif pasal 33 UUD 1945, menurut Awan, solusi yang menyeluruh atas polemic subsidi BBM ini adalah dengan dilakukannya koreksi kepemilikan dan control migas oleh pemerintah, dalam hal ini Pertamina sebagai BUMN milik bersama memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan penuh atas capital, teknologi, SDM, produksi, distribusi, dan penjualan BBM, sedangkan perusahaan swasta hanya menjadi sub-kontraktor Pertamina. Oleh karena itu, sudah sepatutnya tingkat harga migas ditentukan oleh pemerintah dan Pertamina secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO) ketimbang sebagai usaha maksimisasi profit melalui pemaksaan system pasar bebas migas seperti yang berlaku saat ini. Pemerintah juga perlu mengutamakan alokasi pada sebesar-besarnya kebutuhan migas dalam negeri. Selain itu, koreksi yang perlu dilakukan pemerintah adalah peningkatan kapasitas produksi yang dapat dilakukan dengan penambahan kilang-kilang pengolahan untuk mengurangi ketergantungan impor BBM, dan melakukan penghematan energy dengan membatasi pendirian SPBU baru serta mengoptimalkan pengembangan sumber energy alternative.
Beberapa kesimpulan yang dipaparkan di atas merupakan solusi-solusi yang ditawarkan pada pemerintah dari perspektif system ekonomi kerakyatan berdasarkan pasal 33 UUD 1945. Namun, tidak hanya melihat dari sisi ekonomi kerakyatan yang telah dijelaskan panjang lebar oleh Awan Santosa dalam tulisannya, kita juga perlu mengetahui lebih jauh tentang system ekonomi apakah dan bagaimanakah yang dijadikan landasan pemerintah dalam penyelenggaraan perekonomian negara. Apakah pemerintah menghendaki bekerjanya pasar bebas yang berimplikasi menghilangkan campur tangan pemerintah dalam pengelolaan migas, dalam hal ini berarti dilakukan penghapusan subsidi BBM dalam rangka mencari solusi untuk penyalahgunaan subsidi BBM yang selama ini tidak tepat sasaran? Sejalan dengan pemikiran Awan Santosa bahwa jika pemerintah melakukan kebijakan tersebut maka pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi individu-individu (produsen), yang dalam tulisan ini disebut “korporat” untuk menguasai pasar migas dalam negeri. Langkah penghapusan subsidi BBM merupakan solusi pragmatic yang justru menambah beban rakyat dan bertentangan dengan prinsip kesejahteraan dalam system ekonomi kerakyatan. Sementara itu, apakah tujuan pemerintah dengan adanya program pengalihan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap masyarakat miskin? Menurut saya tidak perlu mengaitkan masalah penghapusan BBM dengan BLT, karena tanpa dihapusnya subsidi BBM pun sudah sepatutnya masyarakat miskin diberikan bantuan karena merupakan hak mereka untuk mendapatkan kesejahteraan. Walaupun, seperti yang dikemukakan oleh penulis dalam jurnal ini bahwa bantuan rakyat miskin berupa BLT hanya sekadar respon pemerintah untuk meredam perlawanan mereka atas kebijakan yang dianggap tak adil.

Selasa, 02 Oktober 2012

Kasus Century: Kekacauan Bank

Oleh: Alin Tamanna Rahmani

Kasus Bank Century mulai menghangat kembali dengan dipicu oleh terkuaknya testimoni Antasari Azhar, mantan Ketua KPK. Dulunya, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan kasus yang fenomenal ini, dan sampai sekarang pun saya kurang begitu memahami kasus ini secara keseluruhan. Yah namanya juga mahasiswa, belum tahu tapi belagak tahu haha. Yang saya ingat, sewaktu dosen saya menyinggung sedikit mengenai kasus Century ini adalah Menteri Keuangan mengizinkan bail out atau bahasa gampangnya memberikan sejumlah dana talangan untuk Bank Century melalui Bank Indonesia. Nah, apa maksudnya dana talangan? Coba deh googling bail out. Jadi begini, kalau menurut pengetahuan saya yang terbatas, bank umum dalam hal ini Bank Century pada saat itu berada dalam kondisi kekacauan, yang mungkin berakibat kebangkrutan sehingga Century tidak mampu mengembalikan simpanan yang ingin diambil oleh nasabahnya. Nah, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memegang fungsi moneter yaitu mengendalikan jumlah uang beredar dan mengawasi bank-bank umum, setelah mengendus adanya kekacauan ini, akhirnya menjalankan perannya sebagai the lender of the last resort dengan cara mengucurkan uang tunai untuk mengembalikan simpanan nasabah Bank Century yang hendak menarik simpanannya. Sesimpel itukah? Tentu tidak. Pertanyaan pertama yang harus kita ketahui terlebih dahulu, kenapa Bank century mengalami kekacauan/kebangkrutan tersebut? Menurut ilmu makro ekonomi, bank umum sebagai lembaga keuangan dalam sistem perbankan memiliki fungsi, antara lain sebagai tempat nasabah menyimpan uang tunai dalam bentuk deposito/surat-surat berharga, serta sebagai pemberi pinjaman (kredit) kepada masyarakat. Ketika nasabah menyimpan uang tunainya di bank, maka bank akan mencatat uang tersebut sebagai simpanan, dan juga sebagai cadangan dan pinjaman. Bingung? Begini, misalnya nasabah A menyimpan $100 maka jumlah $100 tersebut merupakan hak bagi nasabah yang bisa diambil seluruhnya dan merupakan kewajiban (sisi kredit) bagi bank untuk mengembalikannya. Sedangkan di sisi debet pihak bank mencatat simpanan sejumlah $100 sebagai cadangan dan pinjaman. Misalnya cadangan $10 dan pinjaman $90. Cadangan ini adalah simpanan uang yang diterima oleh bank namun tidak untuk dipinjamkan, yang besarnya ditentukan oleh kebijakan bank tersebut dan bank sentral (reserve requirement). Pinjaman sejumlah $90 tersebut disalurkan bagi peminjam yang juga punya kewajiban untuk membayarnya kembali. Nah, kebangkrutan yang diduga melanda Century ini kemungkinan besar terjadi karena alokasi cadangan yang ditentukan oleh bank terlalu kecil. Dalam Principles of Economics, Mankiw, disebutkan bahwa kekacauan bank merupakan masalah yang biasanya dihadapi oleh bank-bank yang menjalankan sistem perbankan bercadangan-sebagian. Karena bank hanya mengalokasikan sebagian dari simpanan sebagai cadangan, bank tersebut tidak bisa memenuhi permintaan penarikan simpanan dari semua nasabah. Bahkan, bila bank berada pada kondisi yang benar-benar sehat atau aktiva bank lebih besar dari passivanya, bank tersebut tidak akan memiliki uang tunai yang cukup untuk mengembalikan semua simpanan yang ingin diambil oleh para pemiliknya. Ketika kekacauan terjadi, bank terpaksa menutup pintunya hingga sebagian pinjaman bank dibayarkan kepada bank atau hingga ada pemberi pinjaman terakhir, yaitu bank sentral, yang bersedia mengucurkan uang tunai untuk mengembalikan simpanan para pemilik yang hendak menariknya.

Sekarang, tarik napas dulu. Sudah jelaskah? Lumayan. Kemudian lanjut ke pertanyaan kedua, apa masalahnya? -__- Sewaktu di televisi sedang diputar rerun ILC bertema kasus Century, saya nanya ke Papa saya. Apa sih Pah masalahnya? Kata Papa saya, permasalahannya adalah keputusan atau kewenangan Menteri Keuangan dalam memberikan otorisasi kepada BI untuk bersedia mengucurkan dana talangan atas kebangkrutan Century. Lha apa maksudnya? Menteri Keuangan, menurut berita yang Papa saya baca, mengemukakan dalam rapat rahasia tanpa melibatkan Presiden, bahwa jika Century tidak dibantu maka perekonomian Indonesia akan kacau. Langsung saya menyahut, Bu Menteri pasti punya alasan. Dan langsung dibantah oleh Papa saya T.T. Alasan nggak logis itu! (Papa saya nada bicaranya marah-marah karena lulusan hukum). Zaman krisis moneter 1998, ketika kebijakan sanering dilakukan, kata Papa saya, bayangkan kita punya uang 1 juta, nilainya turun jadi 10 ribu! Papa mau beli susu Dancow dari 20 ribu jadi 100 ribu. Pinjam di bank, Alin tahu berapa bunganya? Dalam pikiranku sekitar 6%, tapi aku nggak jawab. 12%! Sampai Papa pinjam sana-sini untuk beli susu. Dengan kondisi krisis seperti itu, toh perekonomian Indonesia yang tampaknya kacau tetap bisa stabil. Lha dibandingkan dengan kondisi krisis ‘98 tersebut, apa Menteri Keuangan nggak terlalu berlebihan? Hmm, iya juga Pah, kataku dalam hati.

Memberdayakan Kaum Marginal melalui Etika

Oleh: Alin Tamanna Rahmani

Membicarakan kemiskinan dan masalah social yang kita temui di Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Secara makro dapat dipastikan perekonomian negara kita masih lekat dengan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan seperti yang didefinisikan oleh Badan Pusat Statistik adalah keadaan dimana suatu individu tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya akibat pendapatan individu tersebut yang berada dibawah garis kemiskinan. Kenapa bisa miskin? Karena individu tersebut tidak dapat berproduksi, atau produktivitasnya dalam memperoleh pendapatan sangat rendah. Lalu, kenapa tidak produktif? Karena individu tidak memiliki keahlian atau kompetensi yang sesuai denagn kriteria bidang pekerjaan yang ditawarkan oleh swasta sebagai pencipta lapangan kerja. Nah, itu artinya akar dari kemiskinan adalah kebodohan, yakni keadaan individu yang belum diajar dan dididik. Selama ini yang kita tahu solusi yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia adalah dengan melaksanakan program bantuan subsidi baik langsung dan tidak langsung, yakni melalui pajak yang diredistribusikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai, Raskin, Pupuk, BBM bersubsidi, BOS, dll. Selain itu ada pula program kredit usaha rakyat, dana bergulir dengan kemasan dan nama yang macam-macam, yang diharapkan dapat memberikan insentif bagi masyarakat miskin dan menengah ke bawah untuk dapat berwirausaha secara mandiri dengan bantuan pinjaman modal dari pemerintah. Memang betul, solusi yang dilakukan pemerintah ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Namun tidakkah pemerintah berpikir untuk memberdayakan masyarakat miskin, bukan mengurangi jumlah orang miskin secara makro? Siapapun yang pernah belajar ekonomi makro pasti tahu bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu negara diukur dari Pendapatan Domestic Bruto-nya (PDB) atau disebut dengan pendapatan nasional, yaitu nilai dari barang dan jasa yang diproduksi suatu negara tersebut. Kita tahu bahwa pendapatan nasional hanyalah ukuran yang semu, kareana nilai atau angka yang menunjukkan PDB suatu negara adalah hasil kali jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam jangka waktu tertentu dengan harganya, sementara harga tersebut mengalami inflasi setiap tahunnya. Oleh karena itu, secara riil tiidak bisa kita bicara bahwa negara kita meningkat kesejahteraannya hanya dengan melihat dari angka PDB. Bolehlah jika negara lain melihat tingkat kesejahteraan negara kita dari angka PDB yang meningkat dari tahun ke tahun, namun kita sebagai rakyat Indonesia tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi pada kenyataan. Memberdayakan masyarakat miskin, mengutip kata-kata Prof. Amartya Sen dari Harvard University yang kira-kira begini (lupa-lupa ingat :p) jika kita ingin memberi makan orang miskin, maka berikan ia ikan. Namun jika kita ingin mengajari orang miskin mencari makan, maka berikan ia pancingan. Kata-kata sebenarnya lebih bagus daripada yang saya tulis, tapi saya ingatnya begitu -,-. Intinya, dalam pemberdayaan masyarakat miskin, pemerintah memberikan pengajaran dan bimbingan kepada mereka untuk dapat meningkatkan kualitas mereka sebagai sumber daya manusia yang bisa berproduksi secara maksimal. Program-program subsidi yang dilakukan saat ini bukan berarti tidak berhasil mencapai tujuan, walaupun kenyataannya memang banyak terjadi penyimpangan dan kendala yang tak teratasi di lapangan. Namun alangkah bijaknya jika pemerintah turut mempertimbangkan solusi-solusi lain yang bersifat efektif. Pemerintah, dalam hal ini lembaga/kementerian yang diberi tanggung jawab untuk menaungi masalah-masalah social dan kemiskinan, jangan merasa bekerja sendirian. Kewajiban social merupakan tanggung jawab bersama sehingga libatkanlah rakyat secara keseluruhan, dengan program-program yang mengajak mahasiswa dan relawan untuk turut menyukseskan tujuan ini.  

Kaum Marjinal dan Etika

Berbicara kemiskinan artinya kita membahas secara makro dengan kriteria seperti yang disebutkan di atas, yaitu individu-individu yang, antara lain produktivitasnya rendah dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan. Secara sempitnya, pada kenyataan yang kita lihat dan temui, orang miskin memiliki okupasi yang bermacam-macam. Tulisan saya tidak dimaksudkan untuk memberikan pandangan yang merendahkan bagi orang miskin :). Ada yang bekerja sebagai pemulung, pengamen, peminta-minta, dll dengan berbagai macam cara yang mereka lakukan untuk memperoleh pendapatan. Kaum marginal ini, kami sama-sama manusia yang lahir dan menetap di Indonesia, namun bedanya mereka tidak memperoleh hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Kalau dalam paragraf sebelumnya saya telah berbicara tentang pemberdayaan kualitas yang dikaitkan dengan profesionalisme, sebetulnya ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu etika. Pemberdayaan kaum marginal melalui pengajaran etika, bagaimana seharusnya mereka hidup dengan bekerja yang halal, bagaimana mereka berperilaku yang baik di depan orang-orang lain dan bermasyarakat, bagaimana mereka berpedoman pada agamanya, karena mereka juga manusia yang sama seperti kita. Seperti kata dosen saya bahwa etika adalah karakter, yang melekat pada diri seseorang karena diajarkan sejak kecil. Tengoklah anak-anak kecil di terminal, di kolong-kolong jembatan, di pemukiman sepanjang rel kereta-api. Betapa trenyuh jika menemui mereka yang hidup dengan ajaran lingkungannya yang tidak mengenal etika. Ayahnya mabuk-mabukan, ibunya terjun ke dunia prostitusi, teman-temannya mengajarkan bagaimana naik-turun bus, merokok, dan lingkungan seperti itu mendidiknya untuk menjadi seperti yang ia tahu. Selama ini pemerintah hanya mengurangi angka kemiskinan untuk diperlihatkan pada dunia. Sementara di dalam, pemerintah tidak peduli pada generasi miskin yang sebetulnya bisa dihentikan. Melalui pengajaran etika, menanamkan karakter anti-meminta-minta, semoga pemerintah semakin peka.

Lama

Hmm.. Udah lama ga nulis, di sini :)